Di Desa Pesucen terdapat 3 buah SD dan 1 MI, yaitu SDN 1 Pesucen, SDN 2 Pesucen, SDN 3 Pesucen, dan MI Darul Falah 1, serta 1 buah SMP Terbuka yang gedungnya menumpang di salah satu kelas dari SDN 1 Pesucen.
Ketika aku dan Heny ke SDN 3 Pesucen untuk pertama kalinya, lagi-lagi kami shock! Bangunannya hanya beberapa kelas yang masih baik. Jumlah muridnya pun saat itu hanya 26 anak. 12 anak di kelas 1, 4 anak di kelas 3, dan 10 anak di kelas 5! Jujur, aku sendiri juga pernah merasakan berada di kelas yang jumlah muridnya 8 anak, di ibukota propinsi lagi! Tapi tetap aja aku shock. Alhamdulillah, saat tahun ajaran baru (2007/2008) jumlah siswanya bertambah. Dari pendataan kami yang terakhir jumlahnya 33 anak, 7 anak yang baru masuk itu adalah murid kelas 1. Kata guru-guru di sana itu bisa saja bertambah lagi karena di sana walaupun tahun ajaran baru sudah berjalan 1 minggu bahkan 1 bulan ada saja nanti orang tua yang baru mendaftarkan anaknya. Lucunya, saat itu juga ada anak kelas satu yang oleh orangtuanya di sekolahkan di sana tanpa disertai data siswa sama sekali. Mau minta kelengkapan untuk data siswanya saja juga susah karena ternyata hari gini masih banyak orangtua yang gak ingat kapan anaknya lahir, apalagi membuatkan akta kelahirannya. Belum lagi saat mendaftarkan si anak, si orangtua sembari mau pergi ke sawah. Ckckck, jadi guru di pedesaan memang benar-benar pengabdian (termasuk persoalan yang menyangkut kesejahteraan guru-gurunya juga). Kalau gak, mana mungkin banyak guru yang gak mau di tempatkan di daerah seperti itu (pedesaan-pedalaman).
Aku sendiri juga mungkin mikir-mikir jadi guru di desa apalagi di pedalaman. Pertama, karena aku terbiasa hidup di lingkungan (kota) yang sarana prasarana dan aksesbilitasnya bagus. Kedua, dengan tingkat kesejahteraan guru yang masih minim (semoga hal itu akan segera berakhir, amin), aku juga harus mikirin perut dan segala keperluan keluargaku (ketika aku sudah berkeluarga tentunya), kalau bisa ditempatkan di daerah yang bagus fasilitas dan aksesbilitasnya, kenapa nggak. Walaupun itu sangat egois. Tapi itu juga yang dilakukan ortuku. Mereka tetap bertahan di Banjarmasin padahal jika abahku mau ditempatkan di lokasi mungkin kesejahteraan keluargaku bisa lebih terangkat karena kesempatan untuk mendapatkan posisi yang bagus juga lebih besar dan cepat. Di samping sampingannya juga ada, misalnya bertani (baik farmer ataupun peasant) Tapi, tanpa anak-anaknya bisa mendapatkan fasilitas pendidikan yang bagus, apalah gunanya banyak duit!
Situasi di SMP Terbukanya pun bagiku cukup mengenaskan. Entah kenapa, walaupun di sana hanya ada SMP itu tapi banyak warganya yang gak tau. Anak usia SMP-nya pun lebih memilih bersekolah di luar Pesucen atau luar Kecamatan Kalipuro. Padahal, jika sekolah itu diberdayakan kan lumayan untuk dikembangkan menjadi sekolah beneran (terpisah dari induknya alias gak SMP Terbuka lagi). Contoh, SMPN 2 Kalipuro di Telemung (SMP Terbuka Telemung) yang sekarang sudah berubah status menjadi SMPN 3 Kalipuro. Dulunya sama-sama anak dari SMPN 2 Kalipuro. Padahal Telemung itu desa termiskin di Kalipuro (salah satu desa termiskin juga di Banyuwangi). Minimal kayak SMP Terbuka Pekarangan di Desa Kelir yang juga anak dari SMPN 2 Kalipurolah yang jumlah muridnya lumayan (31 anak pada tahun ajaran 2007/2008, 29 anak pada tahun ajaran 2006/2007), padahal di sana terdapat Mts Daruttarbiyah yang menjadi pesaing besar mereka (117 anak pada tahun ajaran 2007/2008, 97 anak pada tahun ajaran 2006/2007) dalam mendapatkan siswa.
Oh ya, aku belum menceritakan berapa jumlah siswa dan bagaimana kegiatan belajar mengajar (KBM) di SMP Terbuka Pesucen. Jumlahnya hanya 8 orang. Itupun beberapa anak hanya masuk ketika ujian semesteran tiba. Guru pamongnya hanya 1 (dulu 2. Tapi karena jumlah siswanya semakin berkurang jadi sekarang hanya 1). KBM-nya pun hanya berlangsung setiap Kamis-Sabtu siang (aku lupa berapa jam KBM-nya) dengan berbagai keterbatasan (termasuk seragam sekolah). Siswanya pun termasuk anak-anak yang ”bermasalah”. Menurut cerita Bu Titis, guru pamong SMP Terbuka Pesucen itu, ada yang harus dipanggil atau didatangi ke rumah, ke tempat main, atau ke tempat dia ngembalain kambing/ngarit dulu baru mau sekolah, ada juga yang bekerja demi menghidupi dirinya dan keluarga sehingga ketika ujian dia baru datang (salah satunya Siti Maryam, yang rumahnya di RT.1 RW.3 Krajan, yang lewat jurang dekat sawah). Pernah juga (waktu masih jadi anak SMPN 1 Giri), saat ujian kepseknya datang ke rumah salah satu anak, pagi-pagi sekali untuk menjemput muridnya itu. Supaya gak malu juga saat ikut ujian di sekolah/SMP induk, muri-murid itu juga di kasih seragam, sepatu, bahkan ongkos biar mereka bersedia mengikuti ujian. Sayangnya, karena keterbatasan prasarana penunjang kegiatan KKN kami, aku dan Heny gak sempat melihat KBM sekolah tersebut, jadi aku gak bisa cerita lebih banyak.
Anak-anak giringku di Pesucen memang gak ada yang menarik jika dibandingkan dengan anak-anak giring desa/kelurahan lainnya di Kecamatan Kalipuro. Ada kakak-adik (keduanya cowok) yang sudah bertahun-tahun gak sekolah karena takut digangguin sama kawannya lah (padahal anaknya gagah, gak tipe anak lemah/pengecut gitu deh). Tapi dari apa yang kami tangkap kayaknya bapaknya yang gak mau nyekolahin. Padahal dilihat dari penampilan bapaknya cukup perlente. Rumah mereka pun bukan gubuk derita kayak rumah salah satu anak giringku yang gak mau sekolah lantaran ortunya gak bisa ngasih uang jajan sebanyak yang dia minta. Tapi alhamdulillah, Taufik Hidayat (14th, nama si anak yang mau ekolah kalau dikasih jajan sesuai keinginannya itu) akhirnya mau sekolah walapun di pesantren, setelah lebaran (semoga di ponpes salafiah). Ada juga si Nasriyah (14th), anak Dusun Padang Baru yang selulusnya dari MI bekerja (alias gak melanjutkan). Katanya sih bekerja di walet (sama kayak Siti Maryam). Waktu pertama kami datangi dia bilang dia mau sekolah (saat itu kami tawari sekolah di SMP Terbuka, jadi dia masih tetap bisa kerja), ortunya juga gak keberatan kalau dia sekolah. Tapi sayangnya ketika kami datangi lagi untuk membawanya ke sekolah, dia bilang gak mau dengan alasan takut dipecat sama bosnya.
Dari ceritanya sih ada banyak anak-anak seusianya yang bekerja di sana alias gak melanjutkan sekolah. Aku sampai kesal banget karenanya. Kenapa sih mereka lebih milih jadi buruh, apalagi di daerah yang biaya pendidikannya gratis? Kenapa sih anak sekecil mereka dijadikan buruh?! Oich, berapa sih usia minimal tenaga kerja di Indonesia? (Ops, kemana aja yach aku sampai gak tau? Ngapain aja yach aku di kelas demografi sampai gak ngerti?! Sutralah ^.^v)
Senin, 10 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar