Senin, 10 Desember 2007

Cuap-cuap tentang Kalipunten


Alhamdulillah, akhirnya cerita-ceritaku selama berada di Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi ke posting juga. Padahal udah lama banget, tapi karena sesuatu dan lain hal, jadi gini nih. Gak semuanya sih kuceritain. Gak semua daerah di Kalipuro juga bisa kuceritain coz aku hanya pendataan di Desa Pesucen, walaupun ikut bantu-bantu daerah pendataan kawan lainnya. Kalaupun mau cerita tentang kelurahan/desa lainnya, takut salah aja. Apalagi kalau ngungkap soal data. Kawan-kawanku yang ngumpulin masa aku main copy trus posting aja :) Semoga cerita-ceritaku menarik untuk dibaca kawan-kawan semua. Thx b4 :)

Welcome to Kalipuro bin Kalipunten

(well, Kalipunten itu istilah dari kami aja kok)


Lebih kurang dua bulan, tepatnya 21 Juni-25 Agustus 2007, aku mengikuti KKN Percepatan Penuntasan WAJAR DIKDAS 9 Tahun di Kalipuro, salah satu wilayah kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Sebenarnya sih aku berharap seperti tahun, ada KKN WAJAR yang penempatannya di Papua atau Sumatra (atau Kalimantan :p). Tapi yang paling jauh ternyata Banyuwangi. Ya sudah, berhubung aku gak mau nanggung (milih Pasuruan yang gak jauh-jauh amat dari Malang), akhirnya aku milih Banyuwangi. Karena gak banyak yang milih untuk ditempatkan di Banyuwangi, akupun ditempatkan (dengan tidak terpaksa) di sana.
Awal datang sih lumayan kaget. Kaget karena letaknya ternyata dekat dengan Kota Banyuwangi, ibukota kabupaten. Tapi kok sepi? Benar-benar terasa seperti kampung (well, dekat kota paling gak masih terasa suasana kotanya). Kaget yang berikutnya ternyata walau dekat kota tapi ada juga daerah yang aksesbilitasnya rendah! Kecuali punya motor sendiri tuk bepergian kemana-mana (termasuk punya kuda). Topografinya lumayan kasar juga ditambah sarana prasarana yang minim (angkot ada di daerah “bawah” saja, aspalnya sudah banyak yang hancur bahkan gak berbentuk lagi, kalau jalan desa malah setapak, terjal, dan gak sedikit yang berada di jalur berupa hutan). Kayapa yang dulu KKN di Papua ya?! Kalau tipe-tipenya kayak dusunnya Denias tinggal sih, wow, keren banget... . Tapi Papua gitu, kapan lagi bisa ke sana? Andai tahun ini ada KKN yang ke sana lagi sih aku pasti daftar. Puncak Jayawijaya, Pegunungan Cartenz, Lembah Baliem, Rawa Wasur, Teluk Cendrawasih, atau yang paling keren Kepulauan Raja Ampat! Wah, kapan ya aku bisa ke sana? (gara-gara kebanyakan nonton JP yang ekspedisi di Papua nih!)
Hari itu hujan turun sedari pagi, menyambut kedatangan kami mulai di pendopo kabupaten hingga sore harinya. Karena sesuatu dan lain hal, diskomunikasi dan lain-lain, setelah disambut di pendopo kecamatan, akhirnya kami harus menginap di rumah salah satu murid pondokan abahnya koordinator kecamatan (korcam) kelompokku, di Dusun Lerek, Kelurahan Gombengsari. Alhamdulillah rumahnya besar, orangnya juga baik. Kami sebenarnya betah tinggal di sana andaikan kami KKN cuma di 1 kelurahan/desa. Masalahnya kami KKN untuk 1 kecamatan. Padahal untuk ke sana cukup jauh dari ibukota kecamatan. Kalau hujan jalannya juga cukup sulit, apalagi kami gak bawa kendaraan untuk transportasi kami selama KKN. Besoknya kami cari tempat tinggal baru. Dapat! 1 rumah dinas pak camat (untuk anak cowok) dan 1 rumah kosong (untuk anak cewek) yang sebelum dimasuki harus didandani dulu. Dipel, disapu, ditata. Make over deh! Tapi ternyata layak huni juga tuh :)
Oich, di sini juga akhirnya aku bertemu dengan orang-orang Osing, suku asli Banyuwangi. Yach, walaupun aku gak pernah berkunjung ke ‘Kampung Wisata Osing’ yang katanya merupakan obyek wisata dimana kita bisa melihat kehidupan Suku Osing asli. Di telingaku yang masih banyak gak paham kosakata Bahasa Jawa, gak beda tuh dengan Bahasa Osing. Logat bicaranya aja yang beda. Menurutku sih kayak ada alunan nadanya gitu. Kalau di Banjar kayak Urang Kalua. Kecuali aku lihat/tau kawanku sama aja dunk-dunknya dengarin dia ngomong, nah berarti lagi ngomong pakai Bahasa Osing. Tapi sori, dulu kupikir suku Osing itu +- Badui dalam, ternyata bukan ^.^v. Yach, +- anggapan orang-orang yang mikir kalau Suku Dayak tuh masih pakai ‘koteka’ atau transportasi utama di Kalimantan tuh masih lewat sungai (soalnya aku masih sering ditanya seperti itu).
Selidik punya selidik gak heran kalau Kecamatan Kalipuro terlihat seperti itu (well, gak usah diceritain lagi yach!) karena ternyata daerah KKN kami itu adalah salah satu kecamatan termiskin di Kabupaten Banyuwangi. Kok bisa ya? Padahal bentang alamnya lengkap. Pantai ada, dataran rendah ada, dataran tinggi ada, bahkan gunung pun ada (Ijen gituh!). Tambak ada, hutan dan Perhutani ada, perkebunan ada (contoh: perkebunan Kali Selogiri dan perkebunan Kali Klatak), pelabuhan Ketapang juga punyanya Kalipuro (oich, Ketapang itu ternyata status administrasinya desa. Dulu kupikir Ketapang itu ibukota kecamatannya. Desa Ketapang juga jauh lebih ramai dibandingkan ibukota kecamatannya).
Aku semakin percaya bahwa Kecamatan Kalipuro adalah salah satu kecamatan termiskin di Banyuwangi ketika ikut Mitha, kawan KKN yang berasal dari Kecamatan Genteng, salah satu kecamatan di Banyuwangi, pulang. Kami melewati beberapa Kecamatan (lupa tepatnya berapa kecamatan. Dasar miss pikun!). Yang kuingat kami lewat Kabat dan Rogo Jampi, baru Genteng. Tiga kecamatan ini jauh lebih ramai dan maju dibandingkan dengan Kecamatan Kalipuro. +- Kota Banyuwangi lah. Di sana terdapat ‘pasar besar’, juga ‘mal’, alias plaza. Bahkan, ‘katanya’ Genteng dulu jauh lebih ramai dibadingkan Kota Banyuwangi sendiri. Kapan Kecamatan Kalipuro seperti itu? Berdoa saja semoga saja cepat terjadi. Amin.

Profil Singkat Kecamatan Kalipuro

Kecamatan Kalipuro berjarak 7 Km dari ibu kota Kabupaten Banyuwangi. Secara astronomis berada pada 008o13’LS dan 114o23’BT. Memiliki luas wilayah 610.03 Km­­­­2 dengan ketinggian 116 m di atas permukaan laut. Curah hujan rata Kecamatan Kalipuro adalah 556-767 mm/bln dan 1467 mm/th. Jumlah penduduk berdasarkan data BPS Kecamatan Kalipuro tahun 2006 adalah ­­­68.730 jiwa. Sebagian besar terdiri dari suku Madura, suku Jawa, dan suku Osing. Keadaan geografis Kecamatan Kalipuro berupa dataran tinggi yang merupakan daerah perbukitan yang cenderung dingin dengan lahan pertanian dan lahan kebun/ladang yang subur.
Batas wilayah Kecamatan Kalipuro, yaitu:
- Sebelah utara : Kecamatan Wongsorejo
- Sebelah timur : Selat Bali
- Sebelah selatan : Kecamatan Giri
- Sebelah barat : Kecamatan Licin
Kecamatan Kalipuro terdiri dari 4 kelurahan dan 5 desa, yaitu Kelurahan Kalipuro, Kelurahan Klatak, Kelurahan Bulusan, Kelurahan Gombengsari, Desa Ketapang, Desa Kelir, Desa Pesucen, Desa Telemung, dan Desa Bulusari.
Ada banyak tempat indah di Kecamatan Kalipuro. Pantai-pantai di pesisir Ketapang, Bulusan, dan Klatak yang indah (sayang telat datang waktu lomba perahu layar!). Gunung-gunung dengan perkebunannya (coklat, kopi, dll. Yang menyedihkan kami batal naik Gunung Ijen, hiks (T.T) Oich, kita juga bisa lihat Pulau Bali dari sana. Ada tempat-tempat yang bagus, baik itu di Ketapang ataupun di Telemung. Tapi aku belum sempat lihat Pulau Bali dari tempat itu). Hamparan sawah yang masih luas. Apalagi yach?! Banyak deh! Sayangnya untuk Pesucen sendiri aku belum pernah ke tempat wisatanya. Yang pernah kudatangi hanya Perkebunan Kaliklatak di Kelurahan Gombengsari. Watudodol hanya lewat atau lihat dari jauh saat nyebrang ke Bali :(
Saat kami datang, Kecamatan Kalipuro dipimpin oleh Pak Drs. Abdullah yang kemudian dimutasi menjadi camat di Kota Banyuwangi, digantikan oleh Pak Ir. Tri Wahyudi Ridartowo.
Nb: kalau tanya aku merujuknya dimana, jujur aku lupa nulis daftar pustakanya. Yang ngetik bagian profil kecamatan ini juga sepertinya lupa mencantumkannya. Sebagiannya lagi aku dapatkan informasinya dari pegawai kecamatan, hasil observasi sendiri, dan cerita kawan-kawan.

Tentang Pasar di Kecamatan Kalipuro

Pasar di Kalipuro masih bersifat pasar mingguan. Kalau di Kelurahan Kalipuro setiap Rabu. Kalau di Desa Pesucen setiap Selasa. Kalau di kelurahan/desa lain aku gak tahu . Secara, posko kami di Kelurahan Kalipuro, gak jauh dari pasar. Daerah pendataanku Desa Pesucen, gak jauh juga dari rumah induk semangku (istilah kami untuk keluarga tepat kami nginap selama kami pendataan di kelurahan/desa), selalu kulewati juga tempatnya, makanya tahu. Dan yang akan kuceritain ini juga sebatas yang aku tahu. Kalau ternyata ada yang kurang, terlalu berlebih, atau salah khilaf mohon maaf ^.^v.
Kami semua rada shock juga karena ternyata pasar di dekat posko kami itu berupa pasar kebutuhan sandang! Secara, yang familiar kan yang namanya pasar tradisional (mingguan ataupun harian) pasti banyak yang jualan kebutuhan pangan. Kebutuhan untuk perut itu kan yang utama. Mau yang dijual itu masakan jadi ataupun bahan mentahnya. Tapi ternyata sama seperti sehari-harinya. Hari pasar ataupun gak yang jual bahan pangan hanya dua ‘kios’. Itupun bisa dibilang minimalis bahan-bahan yang disediakannya. Kalau mau belanja besar ya ke pasar di kota. Waktu aku lewat di pasar Pesucen pun ternyata +- juga. Mamaku aja sempat shock waktu kuceritain. Heran, takjub, plus khawatir akan nasib perut anaknya dan anak-anak orang yang senasib seperjuangan denganku. Di sini banyak-banyak shock terapi deh!
Tapi yang benar-benar ulahku shock, takjub, entah apalah istilah tepatnya, waktu aku perawatan gigi. Secara gitu, gigiku ini kan mang bandel abis (coba deh baca blogku yang di frenster). Waktu aku di Kuta tiba-tiba aja aku merasa ada bagian yang pecah dari gigiku (lupa yang mana. Kalau gak salah geraham bawah). Akhirnya aku ke puskesmas yang berada di sampingnya pasar, depannya posko kami. Penasaran juga sih sama prasarana kesehatan (terutama gigi) yang ada di sana. Apa lebih baik dari yang dimiliki poliklinik kampusku atau sebaliknya (well, terbiasa dengan peralatan dokter gigiku yang bagus, mahal, canggih, walau kadang ulah simpanan duit mamaku menipis :"( kadang-kadang aku juga dikasih perawatan gratis. Secara, 13 tahun sudah aku jadi pasien beliau). Ternyata, MG! Lebih parah dari yang aku bayangkan. Tempat ‘operasi’nya hanya berupa kursi kayu yang sandarannya di tambah sandaran busa untuk penyangga kepala (kayak sandarannya kursi creambath di salon gitu). Gak ada bor dengan matanya yang berbagai ukuran, besar-kecil, halus-kasar, apalagi alat yang bisa keluarin sinar berwarna biru (kalau gak ungu coz ku sering susah melihatnya karena aku sedang dalam ‘operasi’) yang sering kubilang ‘sinar X’. Biasanya digunain setelah penambalan gigi itu nah, gak tau aku apa namanya. Jadi penambalan gigiku dilakukan secara manual dan minimalis. Jadinya cukup lama nunggu untuk keringin tambalannya. Ternyata sampai detik aku nulis ini tambalannya masih utuh. Keren! Kata dokternya, kalau gigiku ternyata masih bermasalah aku dirujuk ke poliklinik yang ada di Klatak coz di sana lebih lengkap alatnya (well, ternyata puskesmas yang lebih besar ada di kelurahan lain. Oich, Kelurahan Klatak juga lebih ramai daripada Kelurahan Kalipuro. Salah satu faktor kenapa Kelurahan Klatak, Kelurahan Bulusan, dan Desa Ketapang adalah mereka dilalui lalu lintas antar propinsi. Di Ketapang terdapat pelabuhan penyeberangan antar pulau (Jawa-Bali) dan propinsi pula (Jawa Timur-Bali).
Tapi endingnya cukup berkesan. Aku kan gak pernah berobat di puskesmas. Well, rumah sakit juga, kecuali waktu aku harus rontgen gigi (lagi-lagi gigi) di RS Suaka Insan. Jadi gak ngerti soal kayapa mekanismenya, termasuk biaya rawat dan berobatnya (aku punya askes tapi gak pernah terpakai. Fotonya aja masih foto zaman TK :p Setelah selesai perawatan aku ke tempat yang urusin pendaftaran dan bayarannya. Trus aku ditanya disuruh nebus obat gak? Ku jawab obat tuk nambal gigi aja. Ku tungguin bapaknya nulis kuitansi pembayaran perawatan tapi kenapa beliau kerjain yang lain ya, pikirku. Kutanyain lagi. “Habis ini ngapain lagi, Pak?” kayak orang koplo deh (well, di KKN aku dapat tambahan perbendaharaan Bahasa Jawa yang menarik. Koplo Di telingaku terdengar lucu dan aneh. Awalnya aku bingung apa maksudnya. Ternyata +- dengan dongok alias bodoh. MG!). Kalau gak perawatan lagi berarti sudah. Dengan polosnya aku keluar dari puskesmas. Saat itu aku ditemani Nene. “Ne, aku tadi gak bayar loh. Kalian waktu medical check up, bayar gak?”. Nene jawab “Gak”. Ya gak untuk periksanya, juga untuk obatnya. Ternyata gratis! Tau deh, apa karena kami KKN bin pengabdian di sana atau karena memang gratis?! Ada kan subsidi untuk kesehatan, terutama untuk kaum miskin? Aku lupa cari tau dan tanya mekanisme hal seperti ini sama sahabatku yang anak STIKES :”(

PROFIL DESA PESUCEN


Desa Pesucen adalah desa tempat aku dan rekanku Heny pendataan. Oich, aku belum cerita kalau kami satu kelompok 20 orang. Berhubung kami bertugas di 9 wilayah, jadi satu wilayah ditugaskan 2 orang. Khusus di Kelurahan Kalipuro 4 orang, 2 orang pendataan, 2-nya lagi monitoring. Sebenarnya ada sih cerita mengenai asal muasal Desa Pesucen, tapi tidak aku ketik waktu bikin profil kelurahan/desa di bahan seminar hasil KKN. Fotokopian Profil Desa Pesucen juga gak kubawa, ada di dalam kardus berisi berkas-berkas KKN :( So, seadanya aja yach...
Keadaan Umum Wilayah Desa
Luas Wilayah
Luas total wilayah: 429,23 Ha
Terdiri dari:
- Luas tanah persawahan: 217,36 Ha
- Luas kebun campuran: 95,31 Ha
- Luas tanah perumahan: 41,27 Ha
- Luas tanah lainnya: 75,29 Ha
Batas Wilayah Desa
- Utara: Desa Kelir dan Desa Telemung
- Timur: Desa Kelir dan Desa Grogol
- Selatan: Desa Grogol
- Barat: Desa Bulusari
Letak Geografi dan Topografi
- Tinggi tempat: 350 m
- Curah hujan: 250 mm/th
- Suhu rata-rata: 23oC
- Luas daratan: 389,08 Ha
Orbitasi
Jarak dari pusat pemerintahan:
- Dari kecamatan: 6 Km
- Dari ibukota kabupaten: 10 Km
- Dari ibukota Propinsi: 300 Km
Waktu tempuh dari pusat pemerintahan:
- Dari kecamatan: ¼ jam
- Dari ibukota kabupaten: ½ jam
- Dari ibukota Propinsi: 7 jam
Pembagian Wilayah Desa
Desa Pesucen dipimpin oleh Pak Ma’sum Hasby, terbagi menjadi 3 dusun, 8 RW, dan 22 RT dengan rincian:
- Dusun Krajan terdiri dari 3 RW dan 10 RT. Kepala dusunnya adalah Pak Amri.
- Dusun Padang Baru terdiri dari 2 RW dan 6 RT. Kepala dusunnya adalah Pak Ashari.
- Dusun Bangun Rejo terdiri dari 3 RW dan 6 RT. Kepala dusunnya adalah Pak Abdul Hamid.
Sedikit cerita mengenai Desa Pesucen, waktu pertama aku ke Pesucen, ternyata wilayahnya tidak terlalu jauh dengan ibukota kecamatan, tapi kalau gak punya motor cukup susah, kecuali beruntung bisa ngandol mobil pekap alias pick up. Aku diantar Mad Samis (Mas Samid). Waktu itu kami diberi petunjuk yang gampang untuk menemukan kantor desa. Lewat Kecamatan Giri (jalan yang sebelah kuburan Cina), lurus saja, maka nanti bisa menemukannya. Tapi untuk the first time cukup berat. Shock gitu deh karena jalanannya aspal tapi pecah-pecah. Sepi pula! Tapi benar, lurus saja maka ketemu Desa Pesucen. Lurus saja, terus naik maka akan ketemu Desa Bulusari. Kalau naik terus kalau gak salah sih Perhutani, terus naik-naik ke puncak gunung deh!
Cerita tentang penjelajahan aku dan Heny di Pesucen bisa terbilang lucu, yach walau mungkin cerita kami gak semenegangkan jika berada di Telemung dan Gombengsari, atau mungkin daerah lainnya. Hari pertama kami memulai pendataan disambut dengan hujan. Untungnya Bu Tri, ibu kost kami selama di Pesucen berbaik hati meminjamkan motornya. Setelah hujan cukup reda aku dan Heny berkeliling berbekal peta! Yap, geografi banget... (say it with a map gituh!). Sayangnya petanya tanpa skala, jadi susah menentukan jaraknya. Kami sampai pernah mau ke Bangun Rejo ternyata sudah masuk wilayah Bulusari, mau ke Padang Baru ternyata jalan jauh sampai ke wilayah Kecamatan Giri!
Ada beberapa titik yang cukup ekstrim. Andai gak terlatih bawa motor, terutama bawa motor butut, siap-siaplah mendorong motor anda untuk ’naik-naik ke atas gunung’ atau berbalik arah karena gak berani turun dengan resiko tergelundung, motor rusak, dan badan patah-patah (cukup dihiperbolis sih ini :p Tapi bagi yang gak biasa. Kalau terbiasa sih gak akan kesulitan). Saat mau ke Bangun Rejo untuk pertama kalinya aku dan Heny sempat berbalik arah waktu harus lewat jalan curam, berbatu, dan langsung berkelok tajam. Pernah juga pas mau ke Padang Baru dari daerah Bangun Rejo nemu jalan yang serupa, tapi gak terlalu terjal. Dengan kekuatan ekstra dan alunan do’a aku memberanikan diri lewat, membawa motor dengan perlahan, tapi Heny harus turun, jalan kaki menuruni jalan itu ^.^v. Untung remnya makan. Andai kejadiannya kayak waktu di bulusan, dipinjami motor yang rem tangan dan kakinya blong, badanku mungkin sudah patah-patah akibat menggelundung. Cukup baju baruku robek dengan bonus punggungku lecet. Nyerah aku kalau harus pakai motor tanpa rem lagi, spionnya di kiri pula!! Padahal ternyata ada jalan yang lebih gampang. padahal rumah Pak Kades yang di hari pertama aku datangi itu ternyata sudah masuk dusun Bangun rejo. Duh!
Waktu ke Krajan RT.1 RW.3 mendatangi Siti Maryam, anak yang mau kugiring (tapi ternyata dia tuh muridnya SMP Terbuka Pesucen), untungnya aku lagi gak sama Heny, tapi Taufik (cowok yang tentunya lebih tangguh dan lihai bawa motor dibandingkan kami) karena ternyata untuk mendatangi rumahnya kami harus lewati jurang dan sawah-sawah dulu (katanya sih ada jalan lain, tapi muter lewat desa sebelah). Tegang, nakutin, tapi seru juga! Jalannya berlumut lagi, licin gitu deh jadinya. Daripada kenapa-kenap aku milih turun dari motor dan ngos-ngosan naik turun jurang itu. Tapi walaupun gak ketemu sama Siti Maryam yang ternyata tinggal di rumah mbaknya, jadi hanya ngobrol sama ibunya (itupun aku hanya jadi pendengar coz si ibu ngomong pakai Bahasa Osing), pemandangan di daerah sana cantik banget. Apalagi saat itu sedang panen padi. Sayang aku gak bisa ngabadiin coz baterai kameraku habis :"(
Tapi alhamdulillah beberapa ruas jalan di Dusun Padang Baru dan Bangun Rejo diperbaiki dan di aspal lagi. Aksesbilitas di sana pun jadi lebih nyaman, apalagi dengan pemandangannya yang indah, terutama jika dari Desa Kelir mau ke Desa Pesucen, dari Dusun Krajan ke Dusun Bangun Rejo, atau daerah Dusun Krajan yang lewat jurang itu. Sayangnya selama di Pesucen masih ada beberapa tempat yang belum aku dan Heny jelajahi akibat keterbatasan sarana prasarana penunjang kegiatan KKN kami :). Semoga kapan-kapan aku bisa berkunjung lagi ke sana. Kalaupun nggak, semoga aku bisa berkunjung ke daerah lain dengan cerita yang gak kalah serunya. Seperti kata Ibn Battuta (yang kucontek dari novel Travelers’ Tale Belok Kanak: Barcelona!), Traveling- it leaves you speechless, then turns you into a storyteller. Traveling- gives you home in thousand strange places, then leaves you a stranger in your own land. Traveling- it offers you a hundred of roads to adventure and gives you heart wings!

About Skul at Pesucen

Di Desa Pesucen terdapat 3 buah SD dan 1 MI, yaitu SDN 1 Pesucen, SDN 2 Pesucen, SDN 3 Pesucen, dan MI Darul Falah 1, serta 1 buah SMP Terbuka yang gedungnya menumpang di salah satu kelas dari SDN 1 Pesucen.
Ketika aku dan Heny ke SDN 3 Pesucen untuk pertama kalinya, lagi-lagi kami shock! Bangunannya hanya beberapa kelas yang masih baik. Jumlah muridnya pun saat itu hanya 26 anak. 12 anak di kelas 1, 4 anak di kelas 3, dan 10 anak di kelas 5! Jujur, aku sendiri juga pernah merasakan berada di kelas yang jumlah muridnya 8 anak, di ibukota propinsi lagi! Tapi tetap aja aku shock. Alhamdulillah, saat tahun ajaran baru (2007/2008) jumlah siswanya bertambah. Dari pendataan kami yang terakhir jumlahnya 33 anak, 7 anak yang baru masuk itu adalah murid kelas 1. Kata guru-guru di sana itu bisa saja bertambah lagi karena di sana walaupun tahun ajaran baru sudah berjalan 1 minggu bahkan 1 bulan ada saja nanti orang tua yang baru mendaftarkan anaknya. Lucunya, saat itu juga ada anak kelas satu yang oleh orangtuanya di sekolahkan di sana tanpa disertai data siswa sama sekali. Mau minta kelengkapan untuk data siswanya saja juga susah karena ternyata hari gini masih banyak orangtua yang gak ingat kapan anaknya lahir, apalagi membuatkan akta kelahirannya. Belum lagi saat mendaftarkan si anak, si orangtua sembari mau pergi ke sawah. Ckckck, jadi guru di pedesaan memang benar-benar pengabdian (termasuk persoalan yang menyangkut kesejahteraan guru-gurunya juga). Kalau gak, mana mungkin banyak guru yang gak mau di tempatkan di daerah seperti itu (pedesaan-pedalaman).
Aku sendiri juga mungkin mikir-mikir jadi guru di desa apalagi di pedalaman. Pertama, karena aku terbiasa hidup di lingkungan (kota) yang sarana prasarana dan aksesbilitasnya bagus. Kedua, dengan tingkat kesejahteraan guru yang masih minim (semoga hal itu akan segera berakhir, amin), aku juga harus mikirin perut dan segala keperluan keluargaku (ketika aku sudah berkeluarga tentunya), kalau bisa ditempatkan di daerah yang bagus fasilitas dan aksesbilitasnya, kenapa nggak. Walaupun itu sangat egois. Tapi itu juga yang dilakukan ortuku. Mereka tetap bertahan di Banjarmasin padahal jika abahku mau ditempatkan di lokasi mungkin kesejahteraan keluargaku bisa lebih terangkat karena kesempatan untuk mendapatkan posisi yang bagus juga lebih besar dan cepat. Di samping sampingannya juga ada, misalnya bertani (baik farmer ataupun peasant)  Tapi, tanpa anak-anaknya bisa mendapatkan fasilitas pendidikan yang bagus, apalah gunanya banyak duit!
Situasi di SMP Terbukanya pun bagiku cukup mengenaskan. Entah kenapa, walaupun di sana hanya ada SMP itu tapi banyak warganya yang gak tau. Anak usia SMP-nya pun lebih memilih bersekolah di luar Pesucen atau luar Kecamatan Kalipuro. Padahal, jika sekolah itu diberdayakan kan lumayan untuk dikembangkan menjadi sekolah beneran (terpisah dari induknya alias gak SMP Terbuka lagi). Contoh, SMPN 2 Kalipuro di Telemung (SMP Terbuka Telemung) yang sekarang sudah berubah status menjadi SMPN 3 Kalipuro. Dulunya sama-sama anak dari SMPN 2 Kalipuro. Padahal Telemung itu desa termiskin di Kalipuro (salah satu desa termiskin juga di Banyuwangi). Minimal kayak SMP Terbuka Pekarangan di Desa Kelir yang juga anak dari SMPN 2 Kalipurolah yang jumlah muridnya lumayan (31 anak pada tahun ajaran 2007/2008, 29 anak pada tahun ajaran 2006/2007), padahal di sana terdapat Mts Daruttarbiyah yang menjadi pesaing besar mereka (117 anak pada tahun ajaran 2007/2008, 97 anak pada tahun ajaran 2006/2007) dalam mendapatkan siswa.
Oh ya, aku belum menceritakan berapa jumlah siswa dan bagaimana kegiatan belajar mengajar (KBM) di SMP Terbuka Pesucen. Jumlahnya hanya 8 orang. Itupun beberapa anak hanya masuk ketika ujian semesteran tiba. Guru pamongnya hanya 1 (dulu 2. Tapi karena jumlah siswanya semakin berkurang jadi sekarang hanya 1). KBM-nya pun hanya berlangsung setiap Kamis-Sabtu siang (aku lupa berapa jam KBM-nya) dengan berbagai keterbatasan (termasuk seragam sekolah). Siswanya pun termasuk anak-anak yang ”bermasalah”. Menurut cerita Bu Titis, guru pamong SMP Terbuka Pesucen itu, ada yang harus dipanggil atau didatangi ke rumah, ke tempat main, atau ke tempat dia ngembalain kambing/ngarit dulu baru mau sekolah, ada juga yang bekerja demi menghidupi dirinya dan keluarga sehingga ketika ujian dia baru datang (salah satunya Siti Maryam, yang rumahnya di RT.1 RW.3 Krajan, yang lewat jurang dekat sawah). Pernah juga (waktu masih jadi anak SMPN 1 Giri), saat ujian kepseknya datang ke rumah salah satu anak, pagi-pagi sekali untuk menjemput muridnya itu. Supaya gak malu juga saat ikut ujian di sekolah/SMP induk, muri-murid itu juga di kasih seragam, sepatu, bahkan ongkos biar mereka bersedia mengikuti ujian. Sayangnya, karena keterbatasan prasarana penunjang kegiatan KKN kami, aku dan Heny gak sempat melihat KBM sekolah tersebut, jadi aku gak bisa cerita lebih banyak.
Anak-anak giringku di Pesucen memang gak ada yang menarik jika dibandingkan dengan anak-anak giring desa/kelurahan lainnya di Kecamatan Kalipuro. Ada kakak-adik (keduanya cowok) yang sudah bertahun-tahun gak sekolah karena takut digangguin sama kawannya lah (padahal anaknya gagah, gak tipe anak lemah/pengecut gitu deh). Tapi dari apa yang kami tangkap kayaknya bapaknya yang gak mau nyekolahin. Padahal dilihat dari penampilan bapaknya cukup perlente. Rumah mereka pun bukan gubuk derita kayak rumah salah satu anak giringku yang gak mau sekolah lantaran ortunya gak bisa ngasih uang jajan sebanyak yang dia minta. Tapi alhamdulillah, Taufik Hidayat (14th, nama si anak yang mau ekolah kalau dikasih jajan sesuai keinginannya itu) akhirnya mau sekolah walapun di pesantren, setelah lebaran (semoga di ponpes salafiah). Ada juga si Nasriyah (14th), anak Dusun Padang Baru yang selulusnya dari MI bekerja (alias gak melanjutkan). Katanya sih bekerja di walet (sama kayak Siti Maryam). Waktu pertama kami datangi dia bilang dia mau sekolah (saat itu kami tawari sekolah di SMP Terbuka, jadi dia masih tetap bisa kerja), ortunya juga gak keberatan kalau dia sekolah. Tapi sayangnya ketika kami datangi lagi untuk membawanya ke sekolah, dia bilang gak mau dengan alasan takut dipecat sama bosnya.
Dari ceritanya sih ada banyak anak-anak seusianya yang bekerja di sana alias gak melanjutkan sekolah. Aku sampai kesal banget karenanya. Kenapa sih mereka lebih milih jadi buruh, apalagi di daerah yang biaya pendidikannya gratis? Kenapa sih anak sekecil mereka dijadikan buruh?! Oich, berapa sih usia minimal tenaga kerja di Indonesia? (Ops, kemana aja yach aku sampai gak tau? Ngapain aja yach aku di kelas demografi sampai gak ngerti?! Sutralah ^.^v)